Oleh DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Berikut ini penulis akan paparkan sebahagian dari beberapa kesesetan-kesesatan yang terdapat dalam beberapa aliran teologi islam, yaitu syi’ah, khawarij dan mu’tazilah:
#Golongan Syi’ah
Imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah kepada berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi saw ketika suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan.
Dalam istilah syi'ah, politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan sunni adalah (al-Khilafah), sedangkan pada zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (ar-Ri’asah).
Dalam pandangan politik syi'ah dikatakan bahwa Imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, akan tetapi adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din), di mana keimanan seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah.
Oleh karena itu, Imam Ali merupakan pelanjut Nabi saw. yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi saw. (bukannya Abu Bakar). Dan bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nab saw. Oleh sebab itu, syi'ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah hak mutlak milik kalangan Ahlul Bait.
Sebelum memaparkan beberapa pandangan sesat dari golongan syi’ah, perlu penulis tekankan tiga hal sebagai general outline tentang aliran syi’ah:
1. Syi’ah pada awal kemunculannya bersih dari kesesatan berpikir, sebab hanya sebatas menjagokan imam Ali atas Abu Bakar, Umar dan khusunya Utsman, oleh kerena itu mereka tidak mencaci para sahabat lain. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya ”an-Nubuwwat”:”Sebagai kepastian dari ucapan imam Ali bahwa: sebaik-baik ummat ini sepeninggalnya Rasulullah saw adalah: Abu Bakar dan Umar.
Dan pertikaian yang terjadi adalah di antara pengikut Ali dan Utsman, adapun pada masa Abu Bakar dan Umar, keduanya tidak memiliki golongan pengikut, dan seluruh umat islam ketika itu bahkan golongan khawarij setuju atas kepemimpinan keduanya”[1].
Namun dalam perkembangannya, syi’ah melalui berbagai perubahan drastis, penyelewangan, dan penyesatan dibawah komando orang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ (wafat 40 H). Ia mengaku Islam, dan cinta Ahlu Bait, mengkultuskan imam Ali bahkan mengangkatnya pada lavel ketuhanan (menuhankan Ali)”[2].
Jelas di atas bahwa Abdullah bin Saba’ merupakan tokoh dan pemeran utama yang menyelipkan pikiran-pikiran sesat dalam ajaran syi’ah. Oleh karena itu imam Ali berinisiatif sendiri untuk memerangi siapa saja dari pengikutnya yang mengatakan dirinya mencapai tingkat ketuhanan, bahkan melarang pengikutnya untuk menganggap dirinya lebih mulia dibandingkan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, dan barang siapa yang berpendapat demikian maka akan dijatuhkan hukum cambuk atasnya[3].
2. Bahkan boleh dikatakan bahwa aqidah Ali, Hasan, Husein, Zainal Abidin, Baqir dan Ja’far Shadiq, adalah sesuai dengan aqidah Ahlu Sunnah, sebab segala penyimpangan yang terjadi dibantah keras oleh para imam-imam syi’ah di atas. Oleh karena itu setelah wafatnya imam Ja’far Shadiq penyimpangan dalam ajaran syi’ah tidak dapat dibendung, bahkan mencapai tahap klimaks.
3. Syi'ah Zaydiyah sebagai salah satu golongan Syi’ah terbesar, telah melalui beberapa perpecahan, peperangan dan revolusi, namun mereka masih lagi mengikuti teori Imamah. Tapi yang menarik, ideologi politik Syi'ah Zaidiyah terlihat sangat berlainan dengan ideologi politik Syi’ah Imamiyah dan Isma’iliyah. Syi'ah Zaidiyah membangun kembali ideologi politiknya dengan merumuskan beberapa rumusan, seperti: boleh mengangkat seorang imam sekalipun ada yang lebih baik darinya, pemberlakuan ijtihad, mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, pengangkatan imam bukan dengan penunjukan ilahi (nash).
Dan yang terpenting lagi adalah, mereka mengingkari beberapa prinsip dasar syi'ah Imamiyah dan Isma’ilyah, yaitu: keyakinan bahwa para imam adalah ma’shum (terhindar dari ma’siat dan kesalahan), raj’ah (kebangkitan kembali), taqiyah (berdakwah dengan jalan rahasia), dan imam ghaib. Di samping itu syi’ah zaidiyah memiliki ciri keterbukaan, dan fenomena keterbukaan tersebut menjadikan Syi’ah Zaidiyah sebagai mazhab yang elastis dan fleksibel.
Maka tak heran kalau didapati beberapa ulama Syi’ah Zaidiyah mengarah kepada Ahlu Sunnah, seperti: Imam Muhammad Ibnu al-Wazir al-Yamani (w 840H), Imam Shalih al-Muqbali (w 1108H), Imam al-Amir as-Shan’ani (w 1182H) dan Imam as-Syaukani (w 1250H).
Dan perlu diinformasikan bahwa kenderungan Syi’ah Zaidiyah beralih ke mazhab Ahlu Sunnah sangat disayangkan oleh Syekh Ja’far Subhani (tokoh kontemporer Syi’ah Imamiyah). Di samping itu ada juga ulama syi’ah zaidiyah yang cenderung kepada Mu’tazilah, seperti: Imam Yahya bin Hamzah al-‘Alawi (w 749H) dan Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (w 840H). Dan ada juga di antara mereka yang cenderung kepada Syi’ah Imamiyah, seperti: Imam al-Qasim ar-Rasy (w 246H), Imam Yahya bin Husain ar-Rasy (w 298H), Imam Ahmad bin Yahya bin Husain (w325H), Imam Humaidan bin Yahya (w 656H) dan Imam Ahmad bin Sulaiman (w 566H)[4].
Antara kesesatan syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah adalah sebagai berikut:
Al-Qur’an.
Dalam pandangan mereka al-Qur’an yang dipegang oleh Ahlu Sunnah (Mushaf Utsmani) tidak originil alias palsu, sebab telah mengalami perubahan. Hal ini dijelaskan oleh ulama hadits syi’ah, Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini: ”dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata :”Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril kepada Muhammad memiliki 17.000 ayat“[5].
Pada tempat lain, dari riwayat yang sama, Abu Abdillah berkata: “Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah, mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu”. Abu Bashir berkata: ‘apakah mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ”yaitu Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al- Qur’an kalian”[6]. Oleh karena itu, Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi menegaskan bahwa al-Qur’an yang ada disisi Ahlu Sunnah telah mengalami perubahan besar dan mengalami banyak penyimpangan dan penyelewengan[7].
Sahabat.
Golongan-golongan syi’ah saling berbeda pendapat dalam mendifinisikan sahabat. Menurut syi’ah Zaidiyah sahabat adalah: ”Kaum Muhajirin dan Anshar atau siapa saja dari sahabat yang dekat dan menimbah ilmu dari Rasulullah saw”[8].
Adapun syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah mengatakan bahwa sahabat adalah siapa saja dari mereka yang menyokong Imam Ali bin Abi Thalib[9].Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Isma’iliyah serta diikuti oleh Jarudiyah dari golongan Syi’ah Zaidiyah[10], kesemuanya bersepakat menyesatkan dan mengkafirkan para sahabat Rasulullah saw.
Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang, yaitu: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghiffari, dan Salman Al-Farisi”[11].
Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) bertanya: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) menjawab: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian ia menyebutkan surat Ali Imran ayat 144”[12].
Dan yang disayangkan oleh Ahlu Sunnah adalah tuduhan mereka bahwa ‘Aisyah dan para istri lainnya sebagai pelacur. Unsur pelecehan ini terdapat dalam kitab syi’ah Imamiyah, yaitu ”Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal”, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah[13].
Reaksi Ahlu Sunnah berbeda-beda dalam menyikapi Syi’ah dalam hal ini. Imam Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmiah dan Rafidhiah, atau di belakang Yahudi dan Nashara (maksudnya tidak boleh). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak boleh dijadikan sebagai saksi dalam perkara, dan tidak dimakan sembelihan mereka”[14].
Dengan tegas imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam”[15]. Sikap ini dipertegas lagi oleh imam Abu Zur’ah ar-Razi: “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari sahabat Rasulullah, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq[16], yang demikian itu karena Rasulullah saw bagi kita adalah kebenaran, dan al-Qur’an adalah kebenaran, dan sesungguhnya yang menyampaikan al-Qur’an dan Sunnah adalah para shahabat . Sungguh mereka mencela para saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk meniadakan al-Qur’an dan Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah”[17].
Imam Ma’sum.
Golongan Syiah Imamiyah dan Isma’iliyah berpendapat bahwa seorang imam harus melebihi umat manusia dalam segala sifat keutamaan, seperti ilmu pengetahuan, kepahlawan, keimanan, ketakwaan dan amal saleh, dan dia harus memiliki ilmu yang sempurna tentang hukum-hukum Allah[18]. Sebab jika tidak demikian; maka berarti kedudukan ini dipikulkan atau diamanahkan kepada orang yang setingkat di bawah orang yang memiliki kesempurnaan, yaitu inferior lebih diutamakan ketimbang superior, maka perbuatan ini adalah perbuatan keliru menurut hukum akal dan bertentangan dengan Keadilan Ilahi.
Oleh karena itu, tidak ada orang inferior yang akan menerima imamah dari Allah swt. bilamana hadir seorang yang lebih superior daripada dia. Jadi seorang imam bagi mereka levelnya sama dengan Nabi dalam kema’suman, yaitu keterjagaan diri dari dosa, noda dan salah[19]. Jika imam tidak ma’sum maka ia akan dapat dengan mudah terjebak dalam kesalahan, dan juga berpotensi untuk melakukan hal-hal yang tidak layak dilakukkan, seperti, berbohong dan berdusta.
Bagi Ibnu Taimiyah, aqidah ishmah (ma’shum) ini merupakan sebuah pengkultusan dan pensucian terhadap pribadi manusia yang tidak ada dasarnya dalam agama, sebab yang berhak dikultuskan dan ma’sum terpelihara dari noda dan dosa hanyalah baginda Rasulullah saw[20].
Ada beberapa jenis ideologi sesat lain yang terdapat di dalam golongan syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah, yang menjadi prinsip dasar mereka, yaitu: keyakinan Raj’ah (kebangkitan kembali), Taqiyah (berdakwah dengan jalan rahasia), dan imam Ghaib. Kesemua ideologi ini tidak diakui oleh syi’ah Zaidiyah[21].
#Golongan Khawarij
Kelompok Khawarij merupakan aliran teologi pertama yang muncul dalam dunia Islam. Khawarij muncul setelah peristiwa peperangan Shiffin antara tentara Ali dengan Mu’awiyah. Khawarij merupakan pendukung tentara Ali ketika terjadinya perang pada bulan Safar tahun 37 H. dalam peristiwa itu banyak tentara di kedua belah pihak yang gugur. Ketika Ali hampir memperoleh kejayaan dan kemenangan, Amr ibn al-Ash yang berada di barisan Mu’awiyah mengangkat mushaf untuk mengadakan perdamaian. Maka peperangan ketika itu dihentikan sementara dan diadakan tahkim (arbitrase) antara kedua belah pihak.
Dalam tahkim ini pihak Ali diwakilkan oleh Abu Musa al Asy’ari yang dipecundangi oleh siasat Amr yang mewakili Mu’awiyah. Arbitrase ini menghasilkan keputusan yang timpang, Ali diturunkan dari jabatan dan Mu’awiyah naik menjadi khalifah. Kejadian ini menimbulkan krisis baru dan pembangkangan yang dilakukan oleh sekelompok muslim yang kebanyakannya berasal dari Bani Tamim.
Mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap proses dan hasil perundingan tersebut dengan menyatakan “Laa hukma illallah”. Ali pun memberi komentar terhadap ucapan tersebut dengan mengatakan: ”Kata-kata haq yang dimaksudkan itu sebenarnya bathil, sebab mereka tidak ingin adanya pemimpin”.
Sekelompok orang yang membangkang tadi lalu berkumpul menuju Haruraa, suatu tempat yang tidak jauh dari Kufah, dan kemudian mereka sepakat membay’at Abdullah bin Wahb ar-Rasibi sebagai pemimpin mereka. Dari sinilah muncul istilah golongan Khawarij.
Dalam perkembangan selanjutnya, Khawarij berpecah-pecah ke beberapa kelompok dan aliran. Walaupun Khawarij berpecah[22], mayoritas dari mereka tetap memiliki pandangan sama dalam tiga hal:
* Pertama: Persamaan pandangan mengenai politik dalam memilih pemimpin. Mereka sepakat bahwa khalifah hendaknya diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan tidak ada keharusan dari etnik, ras, kabilah atau keturunan tertentu, seperti Quraisy atau keturunan Nabi. Hal ini disyaratkan sebab tiada kemuliaan bagi seseorang yang beriman kecuali ketaqwaannya[23].
Dan apabila seorang pemimpin berlaku zalim dan menyimpang daripada amanah rakyat, maka wajib diturunkan dan diperangi bersama[24].
* Kedua: Khilafah (kepemimpinan) harus mengikuti sistim permusyawaratan (syuraa). Kedua prinsip ini tentunya mengingatkan kita pada sistem demokrasi sekarang, di mana pemilihan pemimpin ditentukan oleh rakyat atau dengan cara pilihan raya. Dan hal ini membuktikan bahwa Islam lebih dahulu mengenal sistem demokrasi.
* Ketiga: Persamaan pandangan yang berkenaan dengan aqidah. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman, bukan iman secara keseluruhan. Siapa saja yang beriman kepada Allah, kepada para Rasul-Nya, medirikan sholat, berpuasa dan mengamalkan segala rukun Islam dengan sempurna lalu ia melakukan dosa besar, maka orang tersebut menurut anggapan Khawarij telah kafir[25].
Berikut ini uraian tentang sebagian kesesatan golongan-golongan Khawarij:
al-Azaariqah:
Sekte ini didirikan oleh Nafi’ bin Azraq, dan merupakan sekte Khawarij yang terbesar dan yang paling banyak memiliki pengikut. Aliran ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke 7 M) di daerah perbatasan Irak dan Iran. Mereka mengkafirkan imam Ali, Aisyah dan para sahabat lainnya, termasuk Usman, Thalhah, Zubair, dan Abdullah bin Abbas.
Terdapat beberapa pandangan yang menyesatkan dalam sekte ini, seperti: tidak mengakui hukuman rajam terhadap pezina[26], pelaku ma’siat hukumnya kafir syirik, dan kalau mati sebelum bertaubat maka seluruh amalan baiknya ditolak dan akan ditempatkan dalam neraka jahannam, kekal untuk selama-lamanya[27]. Aliran ini juga dikenal senang mengkafirkan orang lain. Dan terdapat beberapa kriteria yang mereka sepakati tentang seseorang yang dimasukkan dalam kategori musyrik atau kafir, yaitu:
* Semua orang Islam yang tidak sepaham dengan azariqah.
* Orang yang sepaham dengan azariqah tetapi tidak mau berhijrah ke kalangan mereka.
Berdasarkan prinsip ini, pengikut Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai wilayah Islam (Dar al-Islam). Dan selain daerah itu dinilai sebagai kawasan kafir (Dar al-Kufr).
an-Najdat:
Pendiri firqah ini adalah Najdah bin Uwaimir dari Bani Hanifah, penguasa daerah Yamamah dan Bahrein. Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’, pemimpin Azariqah, yang mereka pandang terlalu ekstrim. Oleh karena itu pengikut Najdat memandang Nafi’ dan pengikutnya telah kafir. Melihat dari pernyataan pengkafiran ini, sebenarnya kelompok Najdat-pun adalah sebuah kelompok ekstrim.
Terlebih lagi pemahaman mereka bahwa orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka dianggap kafir dan kekal dalam neraka. Sementara pengikut mereka tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Kelompok ini berasumsi bahwa untuk mengukur suatu dosa apakah itu dosa besar ataukah kecil dilihat dari apakah pelakunya berbuat demikian karena ketagihan atau tidak, bertekad atau tidak.
Seperti perbuatan berdusta, kalau pelakunya berterusan dan bertekad untuk berdusta, maka berdusta baginya dosa besar dan dapat dihukum kafir, sedangkan jika seorang berzina, mencuri, minum khamar namun dia tidak bertekad dalam melakukan perbuatan tersebut, maka ia tetap seorang mu’min bukan musyrik. Bagi mereka, berketerusan dalam dosa kecil menjadikan seseorang itu syirik. Dan mereka menggugurkan hukuman had dari pada peminum khamar[28].
Selanjutnya sekte ini juga mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap Najdat yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69 H/688 M.
Al-Ajaridah:
Pendirian golongan ini dipelopori oleh Abdul Karim bin Ajrad. Dibandingkan dengan Azariqah, pandangan-pandangan kaum Ajaridah jauh lebih moderat. Mereka mengkafirkan pelaku dosa besar dan mengatakan surah Yusuf bukan bagian dari surah al-Qur’an, surah tersebut hanyalah sebuah kisah yang disisipkan dalam al-Qur’an, alasannya, mustahil dalam al-Qur’an terdapat kisah percintaan.
Dan mereka tidak sefaham dengan Azariqah yang mewajibkan seseorang berhijrah dari tempat dan wilayah mereka. Mereka tidak boleh merampas harta dalam peperangan, kecuali harta orang yang mati terbunuh. Dan mereka tidak menganggap musyrik anak-anak yang masih kecil, atau dengan kata lain tidak ada dosa turunan bagi anak yang dilahirkan dari orang tua yang kafir[29].
As-Safariyah:
Ziad ibn Asfar merupakan pendiri golongan ini. Dan bila dicermati, sebenarnya pemahaman golongan ini sepaham dengan pandangan Azariqah, namun lebih lembut dan lunak. Dalam masalah pengkafiran atau terminologi “Kufur” mereka berpendapat bahwa istilah tersebut memiliki dan mengandung dua arti, yaitu: kufur ni’mat dan kufur syirik. Bagi pandangan mereka taqiyah hanya dibolehkan dalam bentuk perkataan, tidak boleh berupa tindakan, kecuali bagi wanita Islam yang diperbolehkan menikah dengan lelaki kafir bila terancam keamanan dirinya.
al-Yazidiyah:
Golongan ini ditubuhkan oleh Yazid bin Anisah. Di antara pandangannya adalah: Allah swt akan mengutus seorang rasul dari kalangan ‘Ajam (non Arab), dan akan dibekali sebuah kitab seperti kitab yang diberikan kepada Rasul yang sebelumnya. Dan penurunan wahyu akan turun sekaligus, serentak dan utuh dalam satu kitab, yang bertujuan untuk menghapus syari’at Islam. Di samping itu, mereka berasumsi bahwa segala jenis perbuatan dosa kecil atau besar merupakan syirik[30].
Al-Maimuniyah:
Didirikan oleh Maimun al-Ajradi. Golongan ini juga berpadangan sama dengan Ajaridah yang mengingkari surah Yusuf sebagai bagian daripada surah-surah al-Qur’an, sebab kisah percintaan tidak mungkin dikisahkan Allah swt dalam kitab suci-Nya. Golongan ini membolehkan seseorang menikahi cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Alasan yang dikemukakan pemimpin aliran ini adalah, bahwa al-Qur’an tidak menyebut wanita-wanita tersebut dalam kelompok wanita yang haram dinikahi. Hal ini terjadi karena pemimpin mereka berasal dari bangsa Majusi yang membolehkan perkawinan jenis ini.
Al-Ibadhiyah:
Golongan ini diprakarsai oleh Abdullah bin Ibadh at Tamimiy, dan muncul pada tahun 686 H. Di negara Oman penyebutannya diawali dengan huruf (A) menjadi ”Abadhiyah”, sedangkan di Afrika Timur huruf awalnya (I) ”Ibadhiyah”. Golongan Ibadhiyah merupakan golongan Khawarij yang moderat dan dekat dengan Ahlu Sunnah, oleh karena itu beberapa ulama dari Ibadhiyah menafikan diri daripada Khawarij[31].
Dan golongan ini merupakan golongan Khawarij yang masih wujud dan eksis di Jazirah Arab terutama di negara Oman. Bahkan mayoritas muslim dan keluarga penguasa dalam kesultanan Oman adalah pengikut Ibadhiyah. Golongan ini juga dapat ditemui di Yaman, jazirah Arab Maghribi seperti Libiya, Tunisia dan Al-Jaza’ir. Namun golongan ini juga berpecah kepada beberapa kelompok-kelompok yang ajarannnya dipenuhi dengan nada ekstrim, di antaranya:
* an-Nakariyah: pendiri utamanya adalah Ibnu Fandin. Mereka mengharamkan shalat jum’at dibelakang pemimpin yang zalim. Sesungguhnya Allah memerintahkan perkara wajib dan bukan perkara sunnah. Menampar seseorang, melihat seseorang dengan nafsu syahwat, berciuman, dan memasuki tandas tanpa memakai sarung kesemuanya merupakan perbuatan dosa kecil[32].
* An-Nafatsiyah: golongan ini diketuai oleh Farj Nashr al-Nufusi. Ajaran yang dipromosikan oleh golongan ini adalah: pengingkaran terhadap khutbah jum’at sebab ia sesuatu yang bid’ah.
* As-Sakakiyah: Pemimpin golongan ini adalah Abdullah as-Sakakiyah. Kesesatan golongan ini sangat tinggi sehingga golongan Ibadhiyah lainnya mengeluarkannya dari sekte Ibadhiyah dan mengkafirkan mereka. Di antara ajaran sesat yang menonjol pada as-Sakakiyah adalah: mereka mengingkari semua sumber hukum kecuali al-Qur’an. Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan hadits, ijma’ dan qiyas. Sebab hukum hanya datang daripada al-Qur’an. Bagi mereka, shalat jamaah dan azan adalah bid’ah.
* Al-Fatsiyyah: golongan ini didirikan oleh Abu Sulaiman bin Ya’qub bin Aflah. Ajaran mereka adalah, zakat hanya wajib ditunaikan untuk famili (kerabat) saja. Mereka menganggap peluh orang yang sedang junub dan haid adalah najis[33].
#Golongan Mu’tazilah
Asal kata mu’tazilah adalah: ”i’tazala, ya’tazilu” artinya memisahkan diri. Term mu’tazilah merupakan isim fa’il, maka secara bahasa Mu’tazilah berarti orang yang memisahkan diri. Mu’tazilah adalah istilah yang digunakan bagi kelompok pengikut Washil bin ‘Atha’ (80 H-131 H) yang memisahkan diri dari halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri (21 H-110 H)34. Golongan ini muncul pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Golongan ini merupakan golongan terpenting dalam aliran teologi Islam. Ciri utama aliran teologi ini adalah pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil logika dibanding dalil syara’, dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Sebab bagi mereka akal adalah sebagai kata pemutus dalam segala hal.
Golongan Mu’tazilah berkembang di kalangan golongan intelek pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah (198-218 H/813-833 M). Dalam perjalanan selanjutnya, kedudukan Mu’tazilah semakin kuat dan tangguh setelah Khalifah al-Ma'mun menjadikannya sebagai ideologi atau mazhab rasmi negara ketika itu.
Dan pada zaman itulah golongan Mu’tazilah memaksakan pandangan-pandangan keagamaannya, terutama dalam masalah Khalqul Qur’an (penciptaan al-Qur’an) yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa dan tragedi (Mihnah), yaitu pemahaman bahwa al-Quran itu makhluk Allah (Hudutsul Qur’an), jadi tidak bersifat qadim. Jika al-Quran dikatakan qadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah)[35].
Aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang banyak menimbulkan kontroversi. Terkadang diidentikkan sebagai aliran sesat dan cenderung merusak tatanan agama Islam, sehingga dapat dihukum telah keluar dari ajaran Islam.
Namun tidak dapat dinafikan bahwa aliran Mu’tazilah memiliki kontribusi besar dalam pembinaan dan pengembangan pemikiran di dunia Islam. Oleh karena itu, Mu’tazilah dari sisi ini dianggap sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya[36].
Sejalan dengan judul artikel ini yaitu ajaran sesat, maka penulis akan menukil beberapa kesesatan-kesesatan yang terdapat dalam ajaran Mu’tazilah yang tercermin pada berbagai kelompok Mu’tazilah[37]:
Berikut ini, penulis mengutip ajaran-ajaran sesat golongan Mu’tazilah yang tercermin dalam beberapa aliran yang terdapat dalam Mu’tazilah:
* an-Nadzamiyah.
Pendiri aliran ini adalah Ibrahim bin Yasar bin Hani an-Nazdamiyah. Di antara pandangannya adalah: Allah swt tidak mampu menambah atau mengurangi azab bagi penghuni neraka. Dan Allah juga tidak mampu menambah atau mengurangi nikmat penghuni surga. Menolak Qiyas dan Ijma. Dan al-Qur’an bukan mu’jizat.
Mayoriti ulama Mu’tazilah, Abu Huzdail, Jubaa’i, Iskafi, dan Ja’far bin Harb, mengkafirkan an-Nadzam[38].
* al-Khabitiyah & al-Hadtsiyah.
Khatbithiyyah didirikan oleh Ahmad ibn Khabith, sedangkan al-Hadtsiyah didirikan oleh al-Fadhl al-Hadtsi yang merupakan pengikut an-Nadzamiyah. Mereka menganut faham reinkarnasi (tanasukh al-arwah), yaitu kepercayaan bahwa roh mayat seseorang akan memasuki tubuh manusia yang masih hidup dengan cara penjelmaan ke dalam diri.
Dalam masalah memandang Allah di akhirat (ru’yatullah), mereka mempunyai penafsiran yang berbeda dengan aliran Mu’tazilah, yaitu pandangan yang dimaksud adalah pandangan terhadap Akal Pertama (al-Aqlu al-Awwal), yaitu wujud pertama yang diciptakan oleh Allah, ini merupakan akal aktif, yang dari bentuknya beremanasi wujud-wujud yang ada.
Bagi mereka akal inilah yang akan muncul di hari kiamat, dan dialah yang dapat dilihat dan dipandang oleh mata manusia, jadi Allah swt tak dapat dilihat oleh hamba-Nya, sebab wujud Allah tak berjisim, maka mustahil dilihat oleh penglihatan manusia[39].
* al-Bisyriyah.
Aliran ini didirikan oleh Bisyri bin al-Mu’tamir. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah swt tidak menciptakan warna, rasa, penciuman, dan persepsi indera lainnya seperti, kekuatan, kelemahan, kebutaan mata, ketulian telinga, kebisuan mulut, keberanian, kesehatan, penyakit dll, menurut pendapat mereka semua hal di atas dihasilkan sendiri oleh manusia secara tabi’at[40]
* al-Murdariyah.
Al-Murdariyah dipelopori oleh ’Isa ibn Shubaih yang dikenal dengan Abu Musa Al-Murdar, (w226 H). Beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti Abu Hudzail, an-Nadzam dan Bisyri al-Mu’tamir sepakat mengkafirkan pendiri aliran ini, sebab terdapat beberapa kesesatan, yaitu: Allah swt bisa saja berdusta dan berlaku tidak adil, dan sekiranya Dia berdusta atau melakukan sebuah ketidakadilan, maka Dia akan menjadi Tuhan yang berdusta dan tidak adil. Manusia memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur’an, baik dari segi gaya penulisan, tata bahasa, dan kefasihan balaghah[41].
* at-Tsumamiyah.
Aliran ini diketuai oleh Tsumamah ibn Asyras al-Numairi. Mereka berpendapat bahwa semua orang-orang kafir, musyrik, majusi, Yahudi, Nashrani, binatang, burung dan anak-anak kaum Muslimin di akhirat akan dijadikan tanah, oleh karena itu mereka tidak masuk ke dalam surga atau neraka, sebab sudah menjadi tanah.
Barang siapa yang belum mengenal sempurna wujud Allah swt. maka tiada pembebanan baginya baik dari suruhan atau larangan. Oleh karena itu, hakikat perbuatan maksiat adalah seseorang yang sudah mengenal Allah, kemudian dia durhaka atau mengingkari-Nya[42].
* Al-Hisyamiyah.
Pemimpin golongan ini adalah Hisyam bin Amru Al-futi. Ia mengingkari bahwa Allah swt yang menyatukan hati orang-orang beriman. Bahkan mengatakan bahwa yang menyatukan hati orang-orang beriman itu adalah mereka sendiri dengan usaha (ikhtiyar) mereka. Surga dan neraka belum diciptakan saat ini, sebab tidak ada faedahnya[43].
* Al-Jahidziyah.
Jahidziyah didirikan oleh Amru bin bahr abu Utsman al-Jahiz. Dia dikenal sebagai pembela Mu’tazilah yang unggul. Di antara pandangannya adalah, hamba tidak memiliki perbuatan, yang ia dimiliki hanya keinginan saja, sebab segala perbuatan terjadi dengan tabi’at, bukan hasil pilihan, dan Allah tidak memasukkan seseorang ke dalam neraka, tapi neraka dengan sifat dan tabiatnya memasukkan penghuninya sendiri[44].
Inilah sebahagian dari beberapa ajaran sesat yang terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam, baik kesesatan yang berkaitan dengan aqidah ataupun yang berkaitan dengan amalan. Dan ajaran tersebut memberikan pengaruh dan kesan kepada ajaran-ajaran sesat di masa kontemporer.(Bersambung)
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
BA (AL-AZHAR). M.PHIL & PH.D (CAIRO)
Senior Lecturer Department of Islamic Theology & Religion
ISLAMIC SCIENCE UNIVERSITY OF MALAYSIA
Catatan:
[1] Ibnu Taimiyah, an-Nubuwwat, hal: 146.
[2] Lihat: Al-Baghdadi, al-Farq Baina al-Firaq, hal: 235. As-Syaharstani, al-Milal wa an-Nihal, 1/174.
[3] Ibnu Hajar al-Asqallani, Fathu al-Bari, 7/33.
[4] Lihat:Kamaluddin Nurdin Marjuni, al-Firaq as-Syi’iyah wa Ushuluha as-Siyasiyah, hal: 21-45.
[5] Al-Kulaini, Kitab Al-Kaafi, 2/634. (kitab ini sama kedudukannya dengan kitab shahih Bukhari disisi Ahlu Sunnah)
[6] Al-Kulaini, Kitab al-Kaafi, 1/239-240.
[7] Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi, kitab Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, dinukil dari Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir.
[8] Al-Qasim bin Muhammad, al-Jawab al-Mukhtar, hal 50. Muhammad bin al-Hadi, Kitab al-Ushul, hal 46. As-Sayyid Yahya Abd Karim al-Fudhail, 2003. Man Hum az-Zaidiyah, hal 32, Shan’ah-Yaman, Muassasah al-Imam Zaid bin Ali at-Thaqafiyyah.
[9] Lihat rincinannya: Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni, hal 343, Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha, 2009. Bairut-Libanon, Darul Kutub al-Ilmiyah.
[10] Mayoritas Syi’ah Zaidiyah tidak mengkafirkan para sahabat Rasulullah, kecuali pandangan sekelompok syi’ah Zaidiyah, yaitu Jarudiyah yang mengkafirkan para sahabat dan pandangan mereka dianggap suatu bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam mazhab Zaidiyah, oleh sebab itu tidak diakui keabsahannya oleh ulama-ualam Zaidiyah. Bahkan golongan Zaidiyah lain seperti as-Shalihiyah dan as-Sulaimaniyah mengkafirkan Jarudiyah akibat pandangannya tentang pengkafiran para sahabat. Pernyataan ini dapat dilihat dalam kitab-kitab mu’tabar Zaidiyah: al-Haruni, ar-Risalah al-Kafiyah, hal 175. Yahya bin Hamzah al-‘Alawi, Aqdu al-Laali fi ar-Rad ala Abi Hamid al-Ghazali, hal 176.
[11] Kitab al-Kafi, 8/248.
[12] Rijalul Kisysyi, hal 12-13.
[13] Ath-Thusi, Kitab Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal, hal. 57-60.
[14] Bukhari, Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal 125.
[15] Al-Khallal, as-Sunnah, 1/493.
[16] Ada beberapa makna dari kata “Zindiq”, dalam kamus Mu’jam al-Wasith kata “az-Zindiq” diartikan sebagai orang-orang yang mempercayai kekufuran alias kaum atheis. Oleh karena itu perkataan “Zindiq” dapat disinonimkan dengan perkataan “Mulhid”, mayoritas sarjana barat yang mengkaji ”Zindiq” berkesimpulan bahwa perkataan tersebut dikaitkan dengan pengikut Mani, kaum Mani sendiri muncul pada awal abad kedua, tepatnya pada masa hidupnya salah seorang imam syi’ah imamiyah itsna’asyariah yang bernama imam Ja’far Shadiq..
[17] Al-Baghadadi, al-Kifayah, hal. 49.
[18] Kamaluddin Nurdin, 2009, al-Firaq as-Syi’iyyah wa Ushuluha as-Syiyasiyyah wa Mauqif Ahli Sunnah minha, hal 187, USIM, Malaysia.
[19] As-Sayyid Muhsin al-Amili, ad-Durrutsamin, hal 23, Iraq-Najf, Matba’ah al-Adab.
[20] Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, 3/174.
[21] Untuk rincian, lihat: Kamaluddin Nurdin, al-Aqidah al-Islamiyah Fi Dau ad-Dirasat al-Kalamiyah, hal: 35-60.
[22] Azaariqah, Najdaat, Yazidiyah, Shafariyah, Ajaridah, Maimuniyah dan Ibadhiyah. Untuk lebih jelasnya penjelasan sejarah kemunculan firqah ini, sila rujuk buku penulis: Nasy’at al-Firaq wa Tathawwuriha, hal 72-90.
[23] Al-Mas’udi, Muruj ad-Zahab, 2/402.
[24] Kamaluddin Nurdin, Nasy’at al-Firaq wa Tathawwuruha, hal 73.
[25] Ibadhiyah merupakan salah satu golongan Khawarij tidak berpandangan demikian, melainkan mengikut pandangan Mu’tazilah, yaitu orang terssebut dihukum sebagai Fasiq.
[26] Al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, hal 83. al-Khayyath, al-Intishar, hal 140.
[27] Al-Juwaini, Al-Irsyad, 385-386.
[28] Al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, hal 83.
[29] Al-Asy’ari, Maqaalat al-Islamiyyin, 1/177.
[30] Al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, hal 244. al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/183. Perlu disebutkan disini, penamaan Yazidiyah dalam sejarah teologi Islam ada dua: Yazidiyah Khawarij (Yazidiyah Maghrib) dan Yazidiyah Adawiyah (Yazidiyah Masyriq) yang dikenal dengan penamaan “Ubbad as-Syaithan” (penyembah syaitan). Menurut sejarawan teologi Islam al-Asyari, al-Baghdadi, as-Syahratani dll, mengatakan pandangan-pandangan di atas merupakan pandangan Yazidiyah Khawarij, namun hasil kajian dan perbandingan, ulama kontemporer berpendapat lain dan menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah Yazidiyah Adawiyah yang bukan berasal dari golongan Khawarij, kebanyakan pemeluk golongan ini berasal dari bangsa Kurdi. Dr. Abdul Fattah Fuad, al-Firaq al-Islamiyah wa Ushuluha al-Imaniyah, 2/69.
[31] Shalih Bajiah, 1396, al-Ibadhiyah bi al-Jarid, hal 2, Tunis, Darul Busalamah.
[32] Ali Yahya Muammar, al-Ibadhiyah baina al-Firaq al-Islamiyah, hal 253.
[33] Kamaluddin Nurdin, Nasy’at al-Firaq wa Tathawwuruha, hal 87.
[34] Al-Mality, at-Tanbih wa ar-Rad, hal 43. ad-Dimsyiqi, Tarikh al-Jahmiyah wa al-Mu’tazilah, hal 5.
[35] Ad-Zahabi, Sayr A’Laamin Nubala, 9/339.
[36] Kamaluddin Nurdin, Nasy’at al-Firaq wa Tathawwuruha, hal 43-60.
[37] Al-Baghadadi berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah berpecah kepada 20 aliran, sedangkan as-Syahrastani menjadikannya 12 aliran. Al-Baghadadi, al-Farq baina al-Firaq, hal 5. as-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/46. sekalipun mereka berpecah-pecah namun mereka sepakat dalam lima prinsip (al-Ushul al-Khamsah), yaitu Tauhid, Keadilan, Janji dan ancaman, kedudukan diantara 2 kedudukan, dan amar makruf nahi munkar. Ulama Mu’tazilah sepakat apabila seseorang tidak mengakui salah satu dari 5 prinsip di atas, maka orang tersebut tidak layak dikatakan sebagai kelompok penganut aliran Mu’tazilah.
[38] Al-Baghadadi, al-Farq Baina al-firaq, hal 131-133.
[39] As-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/68.
[40] As-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/82
[41] As-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/61.
[42] Al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, hal 173. As-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/69.
[43] Al-Isfarayani, at-Tabshir fi Umur ad-Din, hal 72.
SlideShow
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar